Setelah terbangun, aku masih merasa kaget dengan segala kisah yang kulihat tadi. Aku terdiam membisu dan menatap Seifa dan Arsen. Aku tak kuasa untuk menahan tangis, satu persatu air mata mengalir dipipiku. Arsen dan Sefa merasa heran melihat tingkahku.
“Oke, Orlin? Hey? Orlin, ayo kita lakuin tahap ini. Biar semua mimpi lo ga terbuang gitu aja,”ujar Seifa sambil mengeluarkan buku catatan dari lemari belajarku.
“Ini minum dulu nih, baru ceritain,”ujar Arsen seraya menyodorkan segelas air putih kepadaku.
Aku pun mengontrol perasaaanku dan menceritakan segalanya kepada Arsen dan Seifa secara detail. Tak ada satu pun cerita yang aku lewatkan semua masih teringat jelas dikepalaku. Perasaanku tak karuan, air mata terus saja mengalir di pipiku.
“Oke, sekarang tenangin diri lo. Abis itu makan ya, karena lo pasti capek dan butuh tenaga lagi untuk cari langkah selanjutnya”
Saat aku beristirahat, Seifa terdiam di sampingku dan membaca tahap demi tahap ceritaku itu. Ia terlihat sangat serius, baru kali ini aku melihat Seifa sangat serius. Sedikit tidak percaya, aku bisa menemukan orang seperti Seifa dan Arsen yang selalu menemaniku saat aku membutuhkan mereka.
Hari mulai malam, kami memutuskan untuk tidur dan melanjutkan misi ini esok hari. Sebab, keadaanku juga tidak memungkinkan, aku masih sedih dan tak bisa berkata apa-apa.
***
Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali dan memutuskan untuk mencari petunjuk lagi dari bukti yang telah kami dapatkan. Kami mulai dari mencari nama orang yang tidak sempat aku dengar kemarin.
“Oke, ayah lo punya temen ga yang namanya depannya Fer?”Tanya Seifa kepadaku.
“Gue ga begitu tau, tapi setau gue ga ada deh,”ujarku polos.
“Kamu yakin? Coba ditanya lagi ke mamah kamu”ujar Arsen.
“Iya, bener coba telepon ibu lo, Lin”Saut Seifa.
“Iya, bentar, aku telepon ibu dulu”ujarku seraya mengambil ponsel yang ku taruh di kasur.
Untung saja ibu tidak sibuk, teleponku segera diangkat olehnya.
“Halo? Bu?”
“Ya, Orlin? Ada apa sayang?”
“Bu, aku mau tanya, tolong jawab cepat ya bu, teman ayah ada yang bernama dengan nama depan Fer gak?”
“Hmmm…. Banyak, ada Feri, Ferdinan, Fernan, Fera. Kenapa?”
“Gapapa bu, aku iseng aja,”
“Kalo mau liat yang lebih lengkap lihat aja dibuku telepon, disitu biasanya lengkap, nama dan identitas teman ayahmu”
“Oh, iya, bu. Makasih ya bu. Assalamualaikum”
“Iya, Waalaikumsalam”
Setelah mendapat jawaban dari ibu, aku berlari ke bawah dan mengambil buku telepon, lalu kembali ke kamarku.
“Oke kita cari yang sama dengan ciri-ciri yang mau kita tuju! Fer dan pekerjaannya itu dokter hewan”ujarku.
“Iya, oke yang teliti ya”ujar Seifa menambahkan.
Setelah mencari secara seksama dan teliti, aku mendapatkan satu nama yangs ama dengan ciri-ciri yang kita bertiga butuhkan.
“Liat nih! Menurut kalian gimana? Cocok ga sih sama ciri-cirinya?”Tanyaku pada Arsen dan Seifa.
“Iya, bener-bener coba kita cari tahu data yang lebih konkret”ujar Arsen.
“Eh, tapi tunggu dulu, ini…. Namanya Feran? HAAA? Alamatnya liat, Sen!!!”Ujarku kaget.
“Astagfirullah, ini alamatnya ALESHAA?!!!!”Ujar Arsen dengan wajah tidak percaya.
“Iya, Sen… Iya!”Ujarku seraya meyakinkan Arsen.
“Tunggu, tunggu! Apa sih maksud kalian? Ujar Seifa penasaran.
“Alesha yang gue ceritain waktu itu, waktu Kettin sakit gue ke klinik hewan ayahnya. Terus, tempat gue ngadopsi moti itu disanaaa”ujarku seraya meneteskan air mata.
“HAAH?”Ujar Seifa dengan ekspresi tidak percaya.
“Ngga, ngga, gamungkin, bukannya dia orang baik?”Ujar Arsen kepadaku.
“Aku juga gatau, Sen. Tapi tunggu, mana album foto punya ayahku itu? Mana?”Ujarku kepada Seifa.
Seifa memberikan album foto tersebut kepadaku. Ku buka lembaran demi lembaran yang ada. Aku baru teringat bahwa aku pernah melihat salah satu foto halaman yang ada di dalam album ini persis seperti halaman yang ada dibelakang tempat penampungan hewan hewan milik dokter Fernan.
“Liat ini, ini sama kan Sen? Sama apa yang kitalihat di temoat penampungan hewan hewan”ujarku seraya menunjuk Foto yang sedikit blur, tetapi jika diperhatikan sangat mirip dengan halaman tersebut.
“Tunggu, tunggu, iya, bener lin! Bener! Ini dia!”Ujar Arsen meyakinkanku.
“Aku gamau berlama-lama ayo kita ke polisi! Kita harus pergi ke rumahnya dokter itu! Dia membunuh ayahku! Ayo! “ujarku memaksa seraya meninggalkan kamar.
“Orlin, tunggu Orlin! Lo jangan kaya gitu, sekarang udah larut malam, besok pagi-pagi banget kita kesana, oke? Tenangin diri lo dulu, kita ga akan berhasil kalo lo masih di penuhi emosi gini”ujar Seifa mengejarku.
“Tunggu apa apalagi sih Fa? Ayah gue fa! Ini soal Ayah gue! Lo harus ngertiin gue! Ini menyangkut kedamaiana yah gue, fa! Ini ga mungkin di tunda lagi! Lo ngerti ga sih? HAHH?”Ujarku memberontak seraya menangis dan berbicara dengan nada yang keras.
“Oke, gue ngerti. Tapi ini ga akan baik buat lo! Lo ga akan bisa ngomong yang jernih sama poilisi nanti, yang ada masalah ga akan selesai”ujar Seifa seraya memelukku.
“iya, sayang, mending kamu istirahat, besok aku janji, kita akan bisa tangkep pelaku itu”ujar Arsen seraya mengusap rambutku.
Aku menangis di pelukan Seifa dan Arsen. Ini benar-benar sulit untukku, aku merasa sangat terpukul mengetahui kebenaran ini. Karena ternyata orang yang terdekat pun bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.
Keesokan harinya, kami bertiga bangun pagi-pagi sekali dan segera menyiapkan segala bukti yang ada untuk segera diserahkan kepada pihak kepolisian. Setelah semua bukti cukup, kami langsung pergi ke kantor polisi untuk memberikan pernyataan.
“Baik, semua pernyataan telah kami catat. Kami akan mulai penelusuran berdasarkan bukti yang ada”ujar Pak Polisi.
“Pak, tolong jangan diperlambat, bisa kita langsung saja menggeledah penampungan hewan hewan itu? Ini bukan hanya soal jasad ayah saya, tetapi juga nyawa para binatang yang terlantar, Pak,”ujarku meyankinkan.
“Ya, benar, Pak. Saya rasa dengan adanya album foto itu bukti yang kami bawa sudah cukup kuat”ujar Seifa menambahkan.
“Maaf, mbak. Saya harus melapor terlebih dahulu, baru kami akan melakukan tindakan selanjutnya. Mba silahkan menunggu di rumah, saya akan memberi kabar,”ujar Pak Polisi seraya menyuruh kami keluar.
Aku hanya bisa pasrah dan lagi-lagi hanya tangisan yang bisa melegakan perasaanku. Namun, aku tahu selalu ada jalan untuk mengungkap semua ini. Akhirnya, aku serahkan semua kepada kepolisian dan memutuskan untuk menunggu kabar di rumah. Arsen dan Seifa telah kembali ke rumah mereka masing-masing, mereka telah banyak membantuku, aku menyuruh mereka untuk beristirahat.
“Lo gapapa gue tinggal sendirian gini di rumah?”Ujar Seifa kepadaku.
“Gapapa, gue biasa kok kalo nyokap keluar kota, gue sendiri. Kalian juga pasti capek, kan. Kalo ada kabar selanjutnya, gue langsung telepon kalian”ujarku kepada Seifa dan Arsen.
“Aku disini aja, aku temenin kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku tungguin sampe mamah kamu datang. Oke?”Ujar Arsen dengan nada khawatir.
“Gausah, kamu pulang aja, nanti keluarga kamu nyariin. Aku akan kasih kabar secara intensif ke kamu”ujarku seraya memberikan senyum kecil kepada Arsen.
Akhirnya, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing. AKu berhasil meyakinkan mereka, kalau aku akan baik-baik saja. Beberapa jam kemudian, ibu pulang dari dinas luar kota. Ia panik melihat mataku yang sembab dan hidungku yang memerah bak tomat.
“Kamu kenapa sayang? Kamu gapapa? Beneran?”Ujar ibu seraya mengelus-elus pipiku.
“Gapapa, Bu. Udah ibu istirahat aja, ya. Aku bawain kopernya sini,”ujarku seraya menenangkan ibu dan mengalihkan perhatian dengan membawa kopernya ke kamar.
Untung saja ia sama sekali tidak curiga dengan sikapku. Paling tidak ia tidak banyak bertanya soal mata sembabku ini. Mungkin ibu berpikir bahwa aku sedang putus cinta. Ditambah lagi, dengan sikapku yang berusaha untuk relaks di depan ibu.
Tiga hari kemudian setelah hari itu, pihak kepolisian meneleponku dan mengatakan bahwa mereka akan melakukan penggeledahan di klinik dokter Fernan. Perasaanku tak karuan pada saat itu, antara senang dan sedih bercampur menjadi satu. Di satu sisi aku merasa senang, karena pelaku yang membunuh ayah akan tertangkap. Tetapi di sisi lain, aku merasa sedih, karena ibu pasti akan merasa sangat terpukul setelah melihat jasad ayah ditemukan.
Orang yang pertama kali akan aku beri kabar adalah Seifa dan Arsen. Sebab, hanya kami yang mengetahui masalah ini. Aku berniat untuk memberitahu ibu setelah semua masalah selesai. Aku tidak ingin melihat ibu sedih saat aku memberitahu hal tersebut. Belum lagi, aku yakin ibu tak akan percaya bahwa yang telah melakukan semua ini adalah teman baik ayah semasa dulu.
“Halo? Seifa?”
“Iya, kenapa? Udah ada kabar Lin?”Ujarnya Antusias.
“udah, ayo ke TKP”ujarku tergesa-gesa.
“Oke, Oke. Gue kesana,”
Setelah itu ku telepon Arsen.
“Halo? Arsen?”
“Iya? Halo? Kenapa sayang? Ada perkembangan?”Ujar Arsen penasaran.
“Iya, sekarang juga kamu ke rumahku dan kita ke TKP ya,”ujarku seraya menutup telepon.
Setelah Arsen sampai di rumahku, aku langsung menyuruhnya untuk ke klinik dokter Fernan. Saat sampai di sana, sudah ada Seifa yang menunggu kami. Telah banyak mobil polisi yang terparkir tepat di depan klinik, beberapa anjing pelacak pun ikut mencari jejak.
Setelah kurang lebih 6 jam pencarian, akhirnya polisi memutuskan untuk membongkar tempat penampungan hewan hewan. Karena berdasarkan bukti yang ada, polisi menduga, ayahku dikuburkan disana. Akhirnya, polisi meluluhlantahkan penampungan hewan hewan dan mencari jasad ayahku.
Alangkah terkejutnya diriku, jasad ayah ditemukan dalam keadaan tak berbentuk yang dibalut dengan seprai. Aku tak kuasa menahan emosi dan kemudian pingsan di tempat kejadian. Arsen kemudian menangkapku dan membawaku ke dalam mobil. Sementara Seifa berada di TKP untuk memantau perkembangan. Setelah beberapa menit, akhirnya aku sadarkan diri dan meminta Arsen untuk mengambil ponselku untuk segera menghubungi ibu.
“Halo? Ibu?”
“Iya, sayang? Kenapa? Suara kamu kok lesu bergitu?”Ujar ibu panik.
“Bu, aku mohon sekarang ibu datang kesini, ke klinik dokter Fernan,”
“YAudah, kamu tunggu disana. Jangan kemana-kemana. Oke?”Ujar ibu lebih panik.
Setelah itu, aku kembali ke tempat kejadian. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dokter Fernan di tangkap oleh polisi. Aku merasa sangat lega, karena melihat borgol menghiasi tangannya. Tak lama kemudian ibu datang dan berlari ke arahku.
“Orlin”ujar Ibu.
“Bu, akhirnya aku bisa ketemu ayah, bu”ujarku seraya memeluk ibu dan tak kuasa meneteskan air mataku.
“Selama belasan tahun, aku selalu menunggu kepulangan ayah, akhirnya ayah pulang, Bu,”Sautku lagi.
IBu hanya diam membisu tak menyuarakan apa pun. Aku mengerti, ibu pasti sangat terpukuk dengan kejadian ini. Ibu lah yang setiap hari lebih rindu pada ayah dibanding diriku. Setelah belasan tahun, wanita yang sangat aku cintai ini tak pernah absen untuk ke kantor polisi dan menanyakan perkembangan kabar dari ayahku. Tak satu pun hasil yang ia dapatkan.
Selama belasan tahun penantian, ibuku ini harus hidup dalam bayang-bayang wajah ayahku. Kini, aku yakin, ibu akan semakin menderita, sebab lelaki yang dicintainya harus meninggal dengan cara yang seperti ini. Di tambah lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa orang yang ia pikir kerabat baik adalah dalang dari pembunuhan ayahku.
Aku mengerti perasaan ibu, tetapi setidaknya, ayahku kini telah kubuatkan kasur yang nyaman. Meski jasadnya tak lagi berbentuk, aku masih bisa menemuinya lewat mimpi. Sebab, mimpi adalah salah satu-satunya jalan yang mampu mempertemukan orang yang sulit kita gapai.
TAMAT
No comments:
Post a Comment