Hari ini adalah hari jumat, ada pelajaran tambahan dari Bu Tika untuk persiapan olimpiade. Seharusnya, kami mulai pada pukul 1 siang. Tetapi sepertinya hari ini akan sedikit telat karena harus menunggu Arsen sholat jumat.
“Lin, nitip dong tas gue, gue mau sholat dulu,”ucapnya seraya memberikan tasnya ke tanganku. “Yaudah sini, baik gue mah mau jadi tukang penitipan tas,”ucapku bercanda.
“Yaudah gue sholat dulu, ya. Lo mau tetep disini sendirian? Mending nunggu di tempat duduk depan masjid, biar ga sepi sepi banget,”ajak Arsen seraya menjulurkan tangannya.
“Yaudah deh, ini bawa dulu wey tas lo,”ucapku memberikan tas Arsen.
Setelah sampai di tempat duduk depan masjid…
“Yaudah lo tunggu sini ya,”ucap Arsen sambil memberikan tasnya ke pangkuanku.
Setelah sholat jumat selesai, Arsen menghampiriku dan mengangkat tasnya yang ada disampingku.
“Ayuk!”Ajaknya.
“Yuk!”Jawabku.
Saat sampai di ruangan Bu Tika ternyata ia sudah siap dengan beberapa buku di mejanya. Hari ini, pelajaran yang diberikan Bu Tika ternyata tidak terlalu sulit. Aku dan Arsen cepat memahaminya dan tidak ada perdebatan antara aku dan Arsen hari ini. Kejadian yang sangat langka sebenarnya, sebab aku dan Arsen adalah orang yang sama-sama keras kepala. Jika pendapatku A ia pasti memiliki jawaban B, kami seringkali bedebat karena perbedaan. Tapi, kami selalu menemukan jalan keluar untuk memecahkan perbedaan tersebut.
Kita boleh punya pendapat yang beda dari orang lain, tapi bukan berarti kita harus biarin mereka punya jalan masing-masing. Kalo lo mau sukses, lo hanya perlu nyatuin dua pikiran menjadi satu, bukan malah nurutin ego lo. Nih ya lin, yang kita butuhin itu Cuma kesabaran untuk mempersatukan bukan malah memisahkan ide kita.
Arsen selalu mengatakan kalimat itu padaku. Kalimat itu menyadarkanku, bahwa jangan pernah kita mengatasnamakan ego diri sendiri untuk menjadi unggul dalam situasi apapun.
Saat di perjalanan pulang.
“Lin?”Ucap Arsen
“Apa?”Ucapku singkat.
“Besok jadi ya? Jam 7 gue jemput,”tegasnya.
“Iya, bawel ah. Mau kemana sih emangnya sen?”Ucapku penasaran.
“Makan gratis,”jawab Arsen singkat.
“Ih dimana? Kondangan?”Ucapku spontan
“hahahahaha ya ngga lah. Masa iya kondangan,”ucap Arsen seraya mengacak-acak rambutku.
“Terus kemana ?”Ucapku sambil membenarkan poni.
Arsen membuka tasnya dan menunjukkan sebuah tiket makan gratis sepuasnya di restoran milik kakaknya yang baru saja dibuka.
“Nih, kita kesini,”ucapnya sambil menyodorkan tiket makan gratis.
“Beneran gratis? Kirain mau modal ih hahahaha,”candaku.
“Iya, pembukaan resto kaka gue, gue ajak lo makan enak disana Lin hahahaha”
“Yaudah yang penting makan,”ucapku sambil memegang tiket itu.
“Yeuuuh dasar rakus. Ayo pulang, gue anter,”ucapnya sambil berjalan ke arah parkiran
“Bodo wleee. Ngga, itu Pak Diman udah jemput,”ucapku sambil menunjuk ke arah Pak Diman.
“yaudah, hati-hati, ya! Daaaah,”ucapnya sambil melambaikan tangan.
“Yaa,”ucapku sambil membalas lambaian tangannya.
Hari sabtu pun tiba, Arsen sampai 15 menit lebih awal dari yang seharusnya. Saat bel rumah berbunyi, aku sudah tahu pasti itu Arsen. Namun, aku belum siap karena masih mencari anting favoriteku.
“Buuuu, boleh tolong buka pintunya sebentar?”Ucapku kepada ibu.
“Iya, Lin. Ini udah dibukain, temennya udah dateng nih, Lin,”ucap ibu.
“Selamat malam, tante,”ucapnya seraya mencium tangan ibu.
“Malam, tunggu ya Orlin lagi siap-siap. Masuk dulu sini,”ajak ibu.
“Iya tante,”ucap Arsen sambil berjalan dan duduk di ruang tamu.
“Temen sekolahnya Orlin?”Tanya Ibu.
“Iya, tante. Temen sekelas hehe nama saya Arsen,”jawab Arsen.
“Oh teman sekelasnya, mau minum dulu nak Arsen?”Tawar ibu.
“Ngga usah, tante. Jangan repot-repot,”ucap Arsen malu-malu.
Saat turun dari tangga, aku terkejut melihat Arsen. Ia begitu tampan dengan balutan jas warna abu-abu, dengan sepatu casual yang ia pakai dan rambut yang biasanya sedikit berantakan, tertata rapi dengan baik. Tubuhnya yang tinggi menambah keindahan pada dirinya.
“Arsen?”Ucapku.
“Iya, Lin. Ayo,”ucap Arsen mengajakku.
“Tunggu bentar Sen, lupa naro ponsel dimana,”ucapku.
Setelah menemukan ponsel, kami berdua berpamitan dengan ibu dan langsung menuju resto yang berada di sekitar Jalan Pajajaran, Bogor.
“Ribet banget ih ini naiknya gimana ke motor,”ucapku.
“Lagian pake rok segala haha miring duduknya miring, Orliiin,”ucapnya seraya menjulurkan tangannya dan membantuku naik ke motor.
“Makasih,”ucapku.
Aku memang sengaja memakai gaun berwarna hitam pemberian ibu. Karena aku rasa ini acara yang tepat untuk memakai gaun dari ibu yang diberikan 2 bulan lalu. Gaun dengan sedikit aksen silver di lingkar dada, panjangnya menjulur sampai ke lutut, aku sengaja tak mengikat rambut dengan gaya yang berlebihan. Aku hanya menyematkan 2 bobby pin untuk menyangga rambutku ke belakang, agar terlihat lebih rapih.
“udah telat belom sih Sen?”Ucapku heran.
“Belom, tenang aja ditungguin kok. Mereka ga akan mulai pembukaan tanpa gue”ucapnya.
“Hih sombong!”Ucapku ketus.
“Hahhaha becanda, Lin. Lagi pula kalaupun udah mulai, ga akan kenapa-kenapa kok, Lin,”ucapnya menenangkan.
“Yaudah, yaudah,”ucapku.
Sesampainya di tempat acara.
“Lin, ayo,”ucapnya seraya menjulurkan tangannya ke arahlku.
“Tunggu, ini rambutnya berantakan,”uCapku sambil merapikan rambut di kaca spion motor Arsen.
“Sini, gue benerin, maaf ya kalo gue udh punya sim mobil, gue pake mobil om gue pasti, tapi gue gamau bawa nyawa lo tanpa SIM hahaha,”ucapnya.
Ia mengambil bobby pin dari tanganku, dan melingkarkan tangannya di kepalaku. Ia napPak kesulitan, tentu saja. Ia bingung harus menyematkan benda itu dimana.
“Ini kemana harus ditaro bobby pinnya?”Ujarnya kebingungan. Sambil meraba-raba rambutku.
“Ihhh sini-sini,”ucapku menunjukkan letaknya.
“Ayo, ah, ribet sih luuu,”ujarnya sambil meledekku.
“Iyaaa, tunggu sih,”ucapku yang masih sibuk merapikan rambutku.
“Sini ih, ntar ilang lu jangan jauh-jauh dari gue,”ujarnya seraya menjulurkan tangannya untuk menggandengku.
Saat sedang berjalan, ada seorang lelaki tua menyapa Arsen dan melabaikan tangannya seperti mengisyaratkan bahwa Arsen harus mengampirinya.
“Paman!” teriaknya seraya membalas lambaian tangan orang itu.
“Orlin, ini paman gue. Paman, ini yang namanya Orlin,”ucapnya mengenalkan diriku.
“Malam, Om,”ucapku seraya mencium tangannya.
“Yaudah itu abangmu disana, temui dulu,”ujar Paman sambil menunjuk ke arah lelaki bertubuh tinggi di depan panggung.
“Oh iya, aku kesana ya Paman,”ujar Arsen.
“Bang!”Ucapnya.
“Eh, Sen. Sini sini. Kenalin, ini Arsen adik gue,”ucap kakaknya seraya mengenalkan Arsen kepada teman-temannya.
“Bang, ini kenalin Orlin, temen sekelas di sekolah,”ucap Arsen mengenalkanku kepada kakaknya.
“Oh, ini Sen? Hai Orlin. Nikmatin ya semuanya, nanti main-main lagi kesini ajak temen-temennya,”ucap kaka Arsen dengan akrab.
“Iya, ka. Hehe iya, siap siap tenang aja,”ujarku ramah.
Arsen pun mengajakku mencicipi beberapa makanan dan minuman. Genggaman tangannya tak pernah lepas dari tanganku. Ia tak ingin aku hilang sepertinya diantara kerumunan tamu undangan ini.
“Lin, abis ini pulang aja yuk, gaenak sama nyokap lo kalo mulangin lo kemaleman,”
“Sen, tapi kan belum selesai,”
“Ya gapapa, yang penting kan kita udah dateng,”ujarnya sntai
Aku pun menyetujui ajakannya. Kami pun pamit kepada Paman dan juga kakaknya. Mereka sangat ramah kepadaku, tidak cuek meski banyak tamu undangan yang datang.
Saat di perjalanan pulang, tiba-tiba saja gerimis datang.
“Lin, neduh dulu ya. Nanti kita kuyup,”
“Iya, terserah,”ucapku.
Hhhhhhmmmmmmmm aku menghembuskan nafas menikmati aroma air hujan yang menyentuh tanah.
“enak ya aroma“ucapku sambil menikmati suasana hujan.
Arsen tak menghiraukan perkataanku. Tanpa aku sadari, ia menatapku dengan sangat serius. Ia seperti memandangiku dengan detail. Ia menatap dan tak berkedip.
“Hallooo, hi Arsen? Something wrong?” Suaraku mengusik lamunan Arsen.
Ia mengerjap. Ia sepertinya baru menyadari kalau memandangiku selama itu.
“Lin, kenapa lo suka sama hujan?”Tanya Arsen polos.
Aku menoleh kearahnya. Menjatuhkan tatapan mataku pada sepasang masta Arsen. Sejenak, aku tersenyum penuh pengertian.
“Hmmm, sini gue tunjukin nikmatnya hujan,”Aku memberi kode. Ku pegang erat tangan Arsen dan menyuruhnya untuk bernafas sedalam mungkin. Menghirup tiap udara segar yang ada di sekeliling kami. Bau tanah yang khas, aroma dedaunan yang basah karena terguyur rintik hujan. Semua bercampur menjadi satu. Aroma khas yang hanya bisa kita nikmati pada saat hujan.
“Bisa ngerasainnya Sen?”Tanyaku.
Arsen mengangguk “Aku juga selalu jatuh cinta sama hujan, Lin,”ucapnya.
“Kalau alasanmu kenapa?”Tanyaku padanya.
“gue memandang hujan dengan cara yang berbeda dari lo. Gue mencintai hujan karena rintikan airnya yang jatuh ke bumi. Ada yang percaya bahwa di dalam hujan ada melodi yang hanya bisa di dengar oleh mereka yang sedang merindu sesuatu. Gue adalah salah satu dari orang-orang itu. Tiap kali hujan turun, ada rindu dan doa yang gue panjatkan untuk kedua orang tua yang jauh dari gue sekarang ini. Mereka di Paris, tapi gue akan merasa jauh lebih dekat dengan mereka saat hujan turun. Gue teringat bagaimana dulu ibu selalu mendongeng dan menyanyikan nyanyian tidur buat gue,”ujar Arsen, seperti bergumam pada dirinya sendiri.
Aku pun menerawang jauh. Apa yang dirasakan Arsen sama dengan apa yang aku rasakan saat ini. Selalu ada rindu yang ingin aku sampaikan kepada mendiang Ayah tiap kali hujan menyapa bumi. Mungkin, ini yang dinamakan melodi hujan, seperti kata Arsen.
Kilatan cahaya putih tiba-tiba menyambar angkasa. Menimbulkan percikan putih dilangit gelap. Langitnya seolah terbelah. Aku berteriak spontan dan menggenggam tangan Arsen erat.
“Sen… gue takut,”ujarku ketakutan
“Lin? Lo kenapa? Pucet banget?”Ujar Arsen panik.
“Gapapa, ayo pulang, gue takut petir,”
“yaudah, ayo ayo kita pulang,”
Saat ingin berjalan ke motor, tiba-tiba saja hantaman suara gemuruh selanjutnya datang. Aku terlonjak kaget dan relfeks melompat ke arah Arsen. Seperti ingin menyembunyikan kepalaku ke dada Arsen. Tanganku belum lepas dari genggaman erat Arsen.
“Lin, lin gapapa kan?”Arsen panik.
“Gue takut petir Sen”keluhku padanya sambil meneteskan air mata.
“Gue suka hujan, tapi benci petir. Gue takut denger suaranya,”ujarku kembali.
“Yaudah, yaudah, sekarang kita harus pulang ga bagus kalo kita disini terus, sekarang tutup mata lo dan bayangin hal lain selain petir,”ujar Arsen menenangkanku.
“Iya, iya,”ucapku menuruti perkataannya.
Saat sampai dirumah. Aku berterima kasih pada Arsen.
“Sen, makasih ya, ini jaketnya gue cuci dulu ya? Kuyup gini,”ujarku.
“Gausah Orlin, gue aja yang bawa,”ujarnya
“Ih udah gapapa, gaenak ngerepotin doang,”ujarku.
“Yaudah kalo lo maksa haha udah sana mandi yaa nanti sakit,”ujar Arsen seraya membetulkan poniku yang lepek terkena hujan.
“Yaudah gue masuk ya. Lo gamau masuk dulu? Sampe hujan reda?”Tawarku.
“Ngga usah, langsung pulang aja,” Ujarnya.
Arsen turun dari motor dan menatapku cukup lama. Jantungku berdetak kencang. Entah apa yang ia lakukan. Ia berjalan maju mendekatiku. Bodohnya aku hanya diam dan terpaku. Ia mendekapku dan mengucapkan beberapa kata.
“Makasih ya, Lin,”ujarnya.
“Ih kenapa Sen?”Ucapku polos.
“Lin, mungkin ini bukan waktu yang tepat… Tapi aku mau ngomong serius sama kamu. Bisa jangan masuk dulu? Dan tunggu disini dulu,”ujar Arsen menatapku tajam.
Aku hanya teridam dan berusaha mengatur pola detakan jantungku yang semakin lama semakin cepat. Arsen menggenggam tanganku erat.
“Lin, aku tau ini terlalu cepat, maaf aku ga nembak kamu di keadaan yang romantis kaya yang lainnya. Maaf, ga bawa mawar dan peralatan yang lainnya. Aku cuma tau satu, ini waktunya aku bilang, sebelum nanti kamu diambil orang lain. Lin, sebenernya… aku suka sama kamu. Aku sayang sama kamu. Aku ga bisa janjiin sesuatu yang berlebihan buat kamu, yang aku tau aku bisa jadi tempat kamu cerita yang paling baik dibandingin buku diari kamu , tempat kamu beristirahat yang paling nyaman, tempat kamu berbagi air mata, berbagi tawa kamu, masalah kamu and everything what you feel. Jadi, kamu mau ga jadi pacar aku, Lin?”
Bersambung ....
No comments:
Post a Comment