Tuesday, 5 July 2016

NOVEL "Mimpi Dalam Kendali" : PART X

“Kejanggalan yang terus menghantui ini, harus memiliki jalan keluar,” tekadku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk memulai pencarian dari ruang kerja ayah. Satu-satunya media yang ibu gunakan untuk mengenang ayah. Jika sedang rindu pada ayah, ibu selalu duduk di kursi tempat ayah bekerja. Ruangannya memang tak begitu besar, tapi aku merasa disinilah ayah menyimpan seribu satu hasil karyanya. Saat masuk ke dalam ruangan, aku disuguhkan dengan foto-foto yang digantung di sekeliling ruangan.
“Oke, aku mulai dari rak buku sebelah kanan!”Ujarku dengan semangat.
Aku melihat tumpukan jadwal kerja ayah pada map berwarna biru, ku teliti satu persatu, hanya ada lembaran kertas usang berisi tanggal dan jam kerja, taka ada yang mencurigakan sepertinya. Begitu pula surat-surat kontrak ayah yang ada di map berwarna merah, dan beberpa album foto yang berderet di sisi kiri. Tak ada satu pun yanhg mencurigakan.
“Hahhh sudah hampir 4 jam aku mencari, ga ada petunjuk apa-apa yang aku temuin,”ujarku lelah sambil duduk diantara tumpukan kertas berserakan.
“Orliiiiin!”Teriak ibu dari ruang makan.
“Aduh, ibu lagi,”gerutuku dalam hati.
Aku sangat kaget mendengar suara ibu. Spontan aku langsung membereskan hamparan kertas yang berantakan di lantai, ku bersihkan mereka dan ku tempatkan ke tempat semula.
“Orliiiin!”Teriak ibu lagi.
“Iyaaa, tunggu tunggu,”sautku.
“Karliza Orliiin!”Teriak ibu dengan nada lebih keras dari sebelumnya.
“Iya buu, tunggu, ini juga udah mau turun,”teriakku.
Aku menutup pintu ruangan kerja ayah dengan perlahan, agar tidak ketahuan oleh ibu. Lalu, segera aku berlari menuruni anak tangga dan menuju ke meja makan. Kulihat ibu sudah siap untuk menyantap hidangan makan malam.
“Kamu darimana aja sih, dipanggil kupingnya suka ga denger, deh,”gerutu ibu seraya menaruh nasi ke piringku.
“Ngga, itu tadi aku abis….hmmm… abis beresin buku buat dipelajarin nanti malam,”jawabku dengan terbata-bata.
“Yaudah, makan dulu. Udah sholat isya belum? Sholat isya dulu nanti sebelum belajar!”Perintah ibu.
“Iya, bu,”
Setelah usai makan malam, aku masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Ibu menatapku heran, aku sadar itu. Namun, aku berusaha untuk menutupi ini semua. Aku tidak ingin menambah pikiran ibu yang sudah lelah seharian bekerja.
Saat masuk ke dalam kamar, aku membuka ponselku yang sejak tadi tidak ku sentuh. Pada saat ku lihat notifikasi di ponselku, ternyata Ada 15 panggilan tidak terjawab dan 10 pesan di whatsApp yang belum kubaca. Saat ku buka, ternyata ada 10 panggilan dari Arsen, 2 dari Alesha dan 3 dari Seifa, serta 10 pesan whatsApp dari Arsen. Setelah melihat semuanya, ku baringkan tubuhku di atas kasur untuk sedikit menghilangkan lelah.
“Hahh, maafin aku yaaa. Aku gamau kaya gini sebenernya, cuma daripada kalian kena imbas dari betenya aku,”pikirku dalam hati sambil menatap layar handphone yang sedang ku genggam.
Saat sedang asyik tiduran di kasur, aku lupa kalau ada beberapa materi olimipade yang harus ku pelajari. Aku harus belajar lebih extra dari sebelumnya, karena olimpiade hanya tinggal 2 minggu lagi. Aku harus bisa menghapus masalah pribadiku sejenak dan fokus pada olimpiade ini. Aku belajar dengan tekun membuka lembar demi lembar materi yang diberikan Bu Tika dan mengerjakan semua latihan soal. Namun, tak kusadari aku belajar hingga larut malam dan ketiduran diatas tumpukan buku fisika. Meski tidurku tidak senyenyak malam-malam sebelumnya karena memikirkan mimpiku itu. Namun, aku tetap berusaha untuk bersikap biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Orlin, bangun, nak. Sudah jam berapa itu? Nanti kamu kesiangan,”ujar ibu seraya membuka gorden dan jendela kamar.
“Hmmmm…. Ibu, jam berapa ini?”Ujarku sambil menyeka mata.
“Masih setengah 6,”ujar ibu.
“Astaga, ini aku udah kesiangan, ibu,”teriakku
Aku spontan melompat dari kasur dan segera masuk ke kamar mandi. Aku bersiap ke sekolah dengan tergesa-gesa. Aku baru bisa tidur nyenyak pada pukul 03.00, jelas saja aku bangun telat hari ini.
“Orliiiin, ini ada Arsen,”teriak ibu dari bawah.
“Ya Allah….Arsen,”keluhku.
“Yaa tunggu, dikit lagi aku selesai,”teriakku kepada ibu.
Setelah usai membereskan segala keperluan sekolah, aku berlari menuruni anak tangga. Lalu, segera menuju ke ruang makan. Disana sudah ada Arsen dan ibu yang sedang asik berbincang.
“Bu, aku telat, aku ga sarapan ya,”ucapku tergesa-gesa sambil menghampiri ibu dan pamit kepadanya.
“Ayok!”Ajakku kepada Arsen sambil mencolek perutnya.
Arsen pun berpamitan dengan ibu dan ibu pun mengantar kami sampai ke depan pintu.
“Hati-hati, ya, Sen. Jangan ngebut-ngebut”ujar ibu sambil melambaikan tangan.
“Iya, tante. Aku jalan ya, Assalamualaikum,”Saut Arsen seraya menyalakan mesin motor.
Saat sedang dalam perjalanan, Arsen bertanya, “Kamu kenapa sih? Semua pesan aku ga dibales, teleponku ga diangkat. Aku kan khawatir. Aku sampe nyuruh Alesha sama Seifa telepon kamu tau ga?!”
Aku hanya bisa menjawab semua pertanyaan Arsen dengan satu kata “Maaf”.
Kami pun sampai di sekolah, aku masuk lebih dulu ke dalam kelas, aku bingung harus berkata apa saat ditanya seperti itu. Terlihat jelas dari raut wajah Arsen, ia sangat kecewa dengan sikapku. Namun, apa boleh buat, aku belum bisa menceritakan apapun kepadanya.
“Lin, tunggu!”Ujar Arsen sambil berlarian mengejarku yang sudah lebih dulu berjalan.
“Kamu kenapa sih?”
Lagi dan lagi pertanyaan itu yang terlontar. Jawabannya masih tetap sama, “aku gapapa”.
Hari ini Seifa tidak masuk sekolah, karena demam. Aku pun terpaksa duduk sendiri, ternyata terasa sekali perbedaannya, saat Seifa tidak masuk sekolah. Kelas terasa sangat sepi, sebab tiada yang teriak-teriak seperti biasanya. SAmpai pulang pun, kelas terasa amat sangat sepi.

Setelah pulang, Aku sudah memiliki rencana, hari ini ingin membongkar beberapa berkas ayah di rak buku sebelah kiri yang belum kusentuh kemarin. Saat tiba di rumah, aku langsung mengganti bajuku dan langsung masuk ke ruangan kerja ayah.
“Kali ini harus kerja extra, ini bagian sulit, banyak banget album fotonya soalnya,”ucapku menyemangati diri sendiri.
Kutelusuri satu per satu album foto yang ada, rata-rata isi fotonya hanya foto jurnalistik karya ayah. Sudah hampir 5 jam aku mencari, namun tidak juga ada foto-foto yang bisa dijadikan petunjuk. Hanya tinggal 3 album yang belum ku periksa.
Saat aku memeriksa album terakhir, ku lihat albumnya berbeda dari segi sampul hingga isi. Sampul pada album foto ini berwarna biru sedangkan yang lainnya hitam. Sampul album ini adalah sampul paling terawat diantara yang lainnya. Kemudian, isi fotonya pun ada beberapa yang tidak jelas, seperti diambil secara diam-diam. Namun, ada beberapa foto yang terlihat jelas, dan foto itu berisi binatang-binatang yang mati secara mengenaskan. Tubuhku merinding melihat beberapa foto yang ada didalamnya. Tetapi hal itu membuat diriku lebih penasaran dengan foto-foto yang ada di album tersebut. Aku membuka perlahan, lembar demi lembar. Kucermati dengan teliti, foto demi foto yang ada didalamnya.
“Ini apa?”Tanyaku dalam hati.
Ku periksa satu per satu foto yang blur itu.
“Ini kaya ruang praktik,”ujarku dalam hati.
Setelah ku pelajari setiap foto yang ada di dalam album ini, entah mengapa aku memiliki firasat bahwa album ini mampu menjadi petunjuk pertama untuk mengungkap kematian ayah. Setelah itu, aku keluar dari kamar ayah dengan membawa satu hasil yaitu album foto binatang yang ku temukan.
“Hahh Alhamdulillah,”ujarku sambil menutup pintu ruang kerja ayah perlahan.
Saat itu, aku langsung menuju ke kamar dan membalas pesan-pesan yang masuk sejak tadi sore. Tiba-tiba, saat aku sedang membalas pesan dari Arsen.
Setelah menunaikan kewajiban, aku pun berdoa kepada Allah agar aku diberikan kemudahan untuk setiap perjalananku mengungkap kasus kematian ayah. Hanya itu harapanku satu-satunya, agar jenazah ayah cepat ditemukan dan dikuburkan dengan layak.
Setelah usai berdoa, aku sudah tidak niat lagi untuk belajar dan makan malam, akhirnya aku putuskan untuk langsung tidur. Lagi pula, ibu sedang dinas di luar kota, jadi tidak akan ada yang memaksaku untuk makan malam.
“Hahh akhirnya bisa istirahat juga,”ujarku sambil membaringkan tubuh ke kasur dan langsung memeluk guling kesayanganku.
Sekarang tidurku bisa lebih nyenyak dari malam kemarin, setidaknya album foto itu mampu membawa perasaanku lebih tenang dari sebelumnya. Aku tidur dengan lelap malam ini, ditemani semilir angin malam dan suara jangkrik seakan menyanyikanku lagu tidur.
Aku mulai terbawa ke alam mimpi, terbawa ke ruang putih itu lagi. Tempat dimana aku dipertemukan oleh ayahku. Ruangan itu seakan mengeluarkan bunyi, namun suaranya tak begitu jelas. Ia seakan memanggil namaku dengan penuh kasih dan sayang.
“Orlinn…. Orliiiinnnn…. Orlinnn”
Suara itu terus terdengar di telingaku. Aku seperti sedang berada di arena balap lari, dimana semua orang memanggil namaku. Aku merasa bingung, ku putar badanku ke kanan, ke kiri untuk mencari dimana sumber suara itu. Namun, hal itu percuma, suara itu seperti keluar dari segala penjuru ruangan.
Setelah beberapa lama, suara itu berubah. Ia tak lagi menyerukan namaku, kini ruangan itu sunyi dan tak lagi bersuara. Aku seperti sedang didalam penjara, tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan di ruangan itu. Tak lama kemudian, ruangan itu seperti sedang menyiksaku, ruangan itu seperti menjerit meminta tolong kepadaku. Lalu, suara-suara itu datang lagi namun dengan lafal yang berbeda. Kali ini ia menyerukan hal yang sama sekali tak membuatku tenang.
Ia berkata “Tolong, ayah. Tolong, Tolong, Tolong,”
Aku pun spontan terbangun dari tidurku, tubuhku berkeringat, jantungku berdetak kencang, nafasku tak lagi teratur. Aku menangis sendirian pada saat itu, tak ada orang yang menenangkanku. Aku berusaha untuk mengendalikan diri dan berjalan keluar kamar menuju ruang makan untuk mengambil minum.
Setelah itu, aku merasa sedikit lebih baik. Lagi dan lagi, aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Aku sangat gelisah pada saat itu, khawatirku lebih hebat dari mimpi sebelumnya. Aku seperti ingin gila. Ingin berteriak rasanya. Namun, hal itu sepertinya tak ada gunanya.

Aku pun berusaha menangani itu semua sendirian, aku melamun di jendela kamar. MEmerhatikan keadaan sekitar, hanya bintang-bintang dan semilir angin yang menemaniku malam itu. SAmpai fajar pun tiba, aku bergegas untuk mandi dan menunaikan sholat subuh.
Tiba-tiba saat ingin menyisir rambut du meja rias, mataku tertuju pada akbum foto itu. Aku merasa bingung, setelah album foto ini menjadi petunjuk utama, lalu apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau ini hanyalah album foto biasa dan dugaanku salah? Aku bertanya-tanya dalam hati. AKu kubur dalam-dalam pertanyaan itu, lalu ku bergegas berangkat ke sekolah.
Saat pelajaran berlangsung,tiba-tiba saja aku teringat dengan mimpiku semalam. Mimpi itu jauh lebih mengganggu daripada mimpi pada malam sebelumnya. Suaranya lebih jelas, rintihan ayah terasa sangat dekat dengan telingaku. Tubuhku merinding, tiap kali mengingat suara itu.
“Baik, Karliza Orlin. Jawab pertanyaan di papan tulis ini,”Ujar Bu Susi memanggilku.
Aku terlalu larut dalam lamunanku, sampai-sampai tak mendengar perintah Bu Susi
“Lin, Orlin!”Ucap Arsen berbisik kearahku.
“Orlin, heh!”Ucap Seifa sambil menyentuh sikutku.
“Eh, iya, kenapa bu?”Spontan aku tersadar dari lamunanku dan menjawab pertanyaan Bu Susi.
“Daritadi ibu perhatikan kamu tidak fokus ya, Orlin? Kamu kalau tidak niat mengikuti pelajaran ibu, lebih baik di luar saja,”ujar Bu Susi Ketus kepadaku.
“Maaf, bu,”Aku hanya bisa menunduk termenung.
Aku merasa bersalah karena tidak memerhatikan Bu Susi, tapi apa boleh buat, semua telah terjadi. Ini memang salahku yang tidak bisa fokus, aku malah memikirkan hal lain yang seharusnya bisa ku kesampingkan sebentar. Saat bel istirahat berbunyi, aku langsung keluar kelas dan pergi ke kantin bersama Arsen dan Seifa.
“Kamu kenapa sih sebenernya? Belakangan ini aku liatin kamu manyun mulu, udah gitu sering ga fokus,”ujar Arsen sambil menatap wajahku.
“Iya, lo kenapa sih Lin. KAlo ada masalah apa-apa tuh cerita, jangan di pendem sendiri,”ujar Seifa sambil menggenggam tanganku.
Aku pun berpikir, bahwa ini saat yang tepat untuk menceritakan semuanya. Karena tidak ada salahnya bila mereka tahu apa masalahku, siapa tahu mereka bisa membantuku. Pada akhirnya, ku putuskan untuk menceritakan semuanya kepada mereka berdua. Aku jelaskan satu per satu kronologi kematian ayah yang misterius, sampai akhirnya mimpi ayahku yang datang beberapa waktu lalu.
“Jadi, lo mau kita bantu?”Ucap Seifa.
“He..eh”ucapku mengangguk.
“Yaudah, kamu tenang aja, ya. Kita cari masalah ini bareng-bareng,”ujar Arsen menenangkanku.
“Iya, Lin. Gue siap kok bantu lo. Mulai besok, kita pecahin teka-teki ini,”ucap Seifa Serius.
“Makasih ya, kalian,”Jawabku terharu melihat kesiapan mereka untuk membantuku.

Setelah menceritakan semua kisah kepada mereka, hatiku menjadi sangat lega. Hal yang selalu aku cemaskan belakangan ini dapat dipikul oleh beberapa orang. Aku merasa sangta beruntung saat itu, karena hidup diantara orangorang yang selalu ada disaat aku membutuhkan mereka.
Bersambung ....

No comments:

Post a Comment