Tuesday 5 July 2016

NOVEL "Mimpi Dalam Kendali" : PART IX

Ia hanya tersenyum mendengar lirihanku. Ia menatapku penuh kasih sayang, aku tahu itu. Bibirnya pucat, tangan yang ku genggam terasa dingin. Aku meraba setiap jengkal tubuhnya itu. RIndu dan air mata tak dapat tebendung lagi.
“Ayah jangan diem aja. Ayah apa kabar? Kemana aja ayah selama ini?”
Lagi dan lagi, lirihanku hanya dijawab dengan senyuman.
“Ayah, jawab. Ayah!”
Kali ini ku goyangkan tubuhnya yang kaku, dengan harapan pertanyaanku dijawab olehnya. Ia tetap tak berbicara padaku. Aku menangis di dadanya.
“Tolong ayah!”
Akhirnya, ku dengar lagi suara itu. Suara yang sudah lama tak lagi ku dengar, tangisanku semakin menjadi-jadi.
“Ayah kenapa?”Jawabku sambil menatap wajahnya
Ku eratkan pelukanku, seakan tak ingin lepas. Meski hanya kata-kata singkat yang keluar dari mulut ayah, setidaknya aku masih bisa mendengar suara ayah. Aku begitu penasaran, apa yang ayah inginkan dariku. Apa maksud ayah meminta pertolongan dariku.
Setelah itu, beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja jasad ayah yang sedang ku peluk erat menghilang begitu saja. Tak ada lagi yang bisa kupeluk. Aku berlari kesana kemari, hanya ada ruangan putih yang tak berujung.
“Ayahhhhh dimanaaaa? Ini Orlin yaaaah!”Teriakku sambil terduduk dan menangis.
Pertemuan singkat itu, membuat rasa rinduku kepada ayah sedikit terobati.
“Lin, Lin hehhh kamu kenapa? Heh!”Ujar ibu dengan panik sambil menggoyang-goyangkan tubuhku.
“IBU!”Ucapku kaget dengan nafas yang terengah engah.
Aku terbangun dengan tubuh yang berkeringat, aku tersadar, bahwa tadi itu hanyalah bunga tidurku. Padahal, aku berharap semua itu adalah kenyataan.
“Kenapa kamu? Daritadi mengigau panggil-panggil ayah? Ini minum dulu,”ujar ibu sambil memberiku minum.
“Ayah datang ke mimpiku, bu,”ujarku.
“Kenapa kamu terdengar panik sekali?”Ujar ibu penasaran.
Aku ceritakan semua mimpiku kepada ibu, dengan detail. Tak ada satu pun cerita yang kulewatkan.
“Hmm, yaudah itu cuma mimpi. Kamu tidur, ya,”ujar ibu sambil beranjak dari kamarku.
Setelah ibu keluar dari kamar, aku langsung menelepon Arsen. Tetapi tidak diangkat. Aku merasa janggal dengan kata-kata ayah di mimpi. Ia seperti sedang kesulitan, ia membutuhkan diriku untuk membantunya.
“Ini pasti ada apa-apa. Jasad ayah setelah bertahun-tahun ini belum tenang. Aku tahu ayah pasti meninggalkan sedikit jejak tentang petunjuk kematiannya,”
“Yah , tenang ya, aku pasti bisa nemuin petunjuk kematian ayah, ayah pasti akan dikubur dengan layak dan jasad ayah pasti akan tenang,”ujarku sambil menatap foto ayah di atas meja belajarku.
Waktu masih menunjukkan pukul 4.00. Namun, aku tidak bisa tidur lagi. Masih tebayang wajah ayah, di mimpiku itu. Akhirnya daripada membuang waktu dikamar dengan lamunanku, ku putuskan untuk turun ke dapur dan membuat sarapan. Setelah itu, aku mandi dan bergegas untuk menunaikan sholat subuh. Kemudian, ku bersiap untuk sekolah.
“Bu, itu sarapannya udah selesai,”ujarku sambil mengetuk pintu kamar ibu.
“Iya, Lin. Ibu sudah selesai sedikit lagi, kamu makan duluan aja,”ujar ibu dari dalam kamar.
AKu turun ke ruang makan lebih dulu dan tak lama kemudian ibu menyusulku. Aku masih memikirkan mimpiku semalam, makanan yang ada didepanku hanya ku acak-acak. Aku makan sambil dibayang-bayangi oleh wajah ayah dan terngiang suara ayah ditelingaku.
“Hey, lin. Ada apa?”Ujar ibu sambil menatapku heran.
“Gapapa bu, ibu lanjutin aja makannya, aku berangkat ya,”jawabku mengakhiri sarapan dan beranjak menghampiri ibu untuk berpamitan.
“Kamu ga nunggu Pak Diman?”Teriak ibu.
“Ngga, nanti aku sms aja, aku naik ojek depan gang aja,”teriakku pada ibu sambil menutup pintu.
Sesampainya di sekolah, suasana sangat sepi seperti tak berpenghuni. Hanya ada diriku seorang ditemani dengan Pak Asep, yang sedang menyapu kelas.
“Neng, pagi amat datengnya,”sapanya padaku.
“Iya, Pak. Lagi kepagian,”jawabku ramah.
“Ini namanya kerajinan, neng,”ledeknya padaku.
“Gapapa lah, Pak. Sekali-kali kaya gini hahaha,”ujarku sambil membalas candaannya.
Aku duduk di depan kelas sambil menatap ke arah lapangan basket. Telepon yang sejak tadi berdering, tak aku hiraukan. Aku benar-benar ingin sendiri kali ini. Menghirup udara pagi yang belum terkontaminasi, barangkali bisa membuat pikiranku lebih jernih.
“Orliiiin!!!”Teriak Seifa dari kejauhan.
Aku menjawab sapaannya hanya dengan lambaian tangan.
“Kenapa lo? Murung Banget,”ujarnya.
“Gapapa,”jawabku singkat.
“Kantin kuy!”Ucapnya mengajakku ke kantin
“Lo duluan aja,”ucapku sambil mengangkat tasku, dan berjalan ke dalam kelas.
“Ngapa sih nih anak,”gerutu Seifa.
Aku duduk termenung di dalam kelas, sambil membolak-balikkan lembaran kertas yang ada di dalam buku fisika. Tatapanku kosong, pikiranku hanya tertuju pada satu hal “mimpi semalam” ujarku dalam hati.
Sejak tadi, aku berpikir ingin menemukan petunjuk kematian ayah darimana, karena aku sama sekali tidak mengetahui tentang pekerjaan apa yang ayah geluti, apa yang ayah lakukan setiap hari. Pada saat itu, aku masih sangat kecil untuk mengerti semua kejadian yang terjadi. Ayah menghilang tanpa jejak, sudah belasan tahun kasus ini tak terungkap.

Bersambung ....

No comments:

Post a Comment