Monday 4 July 2016

NOVEL "Mimpi dalam Kendali" : PART I

Bogor, 26 Juni 2016.
Kicauan burung telah terdengar ditelingaku, menandakan pagi telah menghampiri. Namun aku, si tukang tidur ini, masih merasa nyaman berada diatas kasur kesayanganku yang dibalut seprai berwarna biru.
Cahaya matahari yang diam-diam masuk ke sela-sela jendela namPaknya tak mengubah tekadku untuk melanjutkan tidur. Namun, sepertinya hal itu harus kuluPakan sejenak, karena tiba-tiba saja ku dengar bisikan seorang wanita yang sangat aku sayangi, yang berhasil membangunkakanku dari kasur ini.
“Orliiiin, bangun nak sudah pagi,” bisik ibu tepat di samping telingaku.
“Ya, bu aku segera bangun,”ucapku seraya menyeka mataku.
“Itu, semua perlengkapanmu sudah ibu siapkan,”saut ibu.
“Iya, bu, taruh saja disitu. Terima kasih, aku mau mandi dulu,”kataku seraya berjalan ke dalam kamar mandi.
Hari ini adalah hari pertamaku memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas. Jujur, aku merasa sangat gugup, karena aku masuk ke salah satu sekolah unggulan di Bogor. Aku takut jika nanti aku tidak memiliki teman, karena temanku pasti akan sibuk dengan belajar, demi mendapatkan kelas unggulan. Sebab, di sekolahku, kabarnya anak-anak yang masuk ke kelas unggulan akan dipandang sebagai dewa oleh anak-anak yang lainnya. Makanya, banyak orang yang tergila-gila untuk memperebutkan bangku kelas unggulan.
Namun, berbeda denganku, aku lebih suka berpikir dengan pola pikirku sendiri, tak peduli perkataan orang lain. Aku, lebih suka menghabiskan masa mudaku layaknya anak-anak seusiaku, merasakan rasanya mencintai seseorang, rasanya menghargai pertemanan, merasakan indahnya berbagi, dan merasakan nilai kehidupan lewat

pengalamanku. Aku akan merugi bila hanya menghabiskan waktu mudaku didepan buku. Namun, hal itu bukan berarti akan membuat lalai dengan pendidikan, aku akan berusaha semampuku tanpa memaksakan sesuatu yang belum ditakdirkan Tuhan.
                                                                            ***
Setelah usai bersiap-siap, aku turun dan menuju ke ruang makan.
“Ini bekalmu nak,”tutur ibu seraya menyodorkan kotak makan ke arahku.
“Terima kasih, bu,”jawabku sambil memasukkan kotak makanku ke dalam tas.
“Ini, sarapan dulu, habiskan rotinya lalu minum susunya,”ucap ibu lagi sambil memberiku roti.
“Sudah habis sarapanmu? Ini uang jajanmu, jangan lupa untuk makan bekalmu, ya,”ucap ibu.
“Sudah Bu, aku berangkat dulu ya sudah pukul 06.30 nanti aku telat, Assalamualaikum buuu,”sautku, sambil berpamitan kepada ibu.
                                                                             ***
Cuaca hari ini sangat terik, ojek langgananku belum juga datang, aku rasa aku akan telat. Akhirnya, aku memutuskan untuk naik ojek lain saja. Daripada nanti terlambat. Akhirnya, ku beri kabar kepada Pak Diman tukang ojek langgananku itu.
Sesampainya di sekolah aku masuk ke dalam kelasku yang ternyata berada tak jauh dengan lapangan bola basket. Aku duduk di kelas X6 (Sepuluh Enam). Setelah sampai di depan kelas, kulihat sudah banyak teman-teman yang datang. Aku memilih untuk duduk dibangku saf kedua di urutan pertama. Sejak dulu, aku memang lebih suka duduk di depan, mengingat aku adalah orang yang suka

berbicara, jika aku duduk di depan setidaknya itu akan meminimalisir kebiasaanku yang bawel.
“Hah, tidak ada seorangpun yang kukenal. Terlalu banyak kutu buku disini, membosankan,”ucapku dalam hati.
“Hai”
Terdengar suara yang asing, sama sekali tidak ku kenal, menyaPaku dengan ramah.
“Ha..hai,” ucapku heran.
“Boleh gue duduk disini?”Ucapnya.
“Ya, tentu!”Ucapku.
“Gue, Orlin,” sambil menyodorkan tanganku kearahnya.
“Gue, Seifa,”ucapnya sambil menjabat tanganku.
KRINGGGG…..KRINGGGGG……KRINGGGG…..
Suara bel berbunyi. Seluruh siswa masuk ke dalam kelas, mata pelajaran pertama pun berlangsung. Sejauh ini, aku masih nyaman berada dikelas ini, anak-anak disini ternyata tidak haus akan nilai, mereka belajar untuk mendapatkan ilmu bukan hanya nilai. Ya, baguslah, ternyata aku berada dikelas yang tepat, kekhawatiranku ternyata salah, aku berada di antara teman-teman yang sejalan denganku.
“Fa, nanti istirahat ke kantin yuk, gue pengen liat kantin disini bagus atau ngga,”ucapku.
“Yuk, Lin. Tapi, makannya dibungkus aja, makannya disitu tuh!”Ucap Seifa, sambil menunjuk kearah tempat duduk tepat di depan lapangan basket.

“Hah, baiklah gue tau maksud lo, dasar centil!”Ucapku sambil menarik tangan Seifa dan pergi ke kantin.
“Makan disitu bakal ningkatin nafsu makan kita, Lin. Liatin anak-anak basket yang ganteng, masukin bola ke ring, dengan gaya yang menawan,”katanya dengan wajah penuh khayalan.
“Haaaah, udah diem Fa. Cowo aja pikiran lo, makan aja ayo!”Ucapku seraya mengusap wajahnya yang membuatku ingin muntah.
Setelah sampai ke kantin, ternyata kantin disekolahku lebih dari yang aku harapkan, sangat bersih dan rapi dengan tempat duduk yang banyak dan juga wastafel yang berada di setiap sudut kantin. Sepertinya ini adalah salah satu tempat favoriteku, karena banyak makanan yang aku suka, haha.
“udah mesennya?”Ujar Seifa.
“udah, nih beli ini aja,”ucapku sambil menyodorkan plastik berisi jajanan yang kubeli.
“Astaga? Segini lo bilang aja? Lo liat, Lin, kantong lo itu penuh, kalo kaya gini sih bisa ngasih makan 3 orang,”ucap Seifa sambil menggelengkan kepala.
“Ah udah, Fa, lo harus terbiasa dengan ini, karena gue suka banget ngemil. Sekarang lo masih mau ngomentarin jajanan gue, atau mau liat cowo-cowo baju ketek dilapangan?”Ucapku.
“Ah, iya! Ayo kita kesana, sebelum mereka selesai,”ucapnya.
“Hah, dasar centil,”ucapku sambil menghela nafas.
Sesampainya di lapangan basket…
“Tuh liat, ganteng parah kan. Lo harus liat, Lin!”
“Iya, iya,”ucapku sambil mengunyah makananku.
                                                                             ***
Sekolah hari ini memang sangat melelahkan. Tak banyak yang kulakukan, tapi cukup menguras tenaga.
“Gimana sekolahnya?”
“Ibu? Ibu ga kerja?”Ucapku kaget melihat ibuku ada dirumah.
“Ibu ambil cuti, ibu harus ke kantor polisi tadi, menanyakan perkembangan kasus ayahmu,”ucap ibu sambil menuangkan air ke gelas.
“Bu, sudahlah, ayah telah tenang disana, kita hanya perlu berdoa,”ucapku pasrah.
Raut wajah ibu terlihat sangat sedih mendengar perkataanku, matanya berkaca-kaca, dan perlahan air mata jatuh ke pipinya.
“Maaf, Bu. A…aku cuma mau ibu tenang, dan tidak gelisah terus menerus,”ucapku seraya menghampiri dan mendekapnya dengan erat.
“Iya, Orlin, ibu hanya ingin memastikan dimana keberadaan jasad ayahmu,”ucap ibu sambil mengelus-elus kepalaku.
                                                                          ***
Kejadian sembilan tahun lalu, memang masih terngiang di kepalaku. Saat itu adalah cobaan terberat yang diberikan Tuhan terhadap aku dan Ibuku. 

Bersambung ....

No comments:

Post a Comment