Monday 4 July 2016

NOVEL "Mimpi Dalam Kendali" : PART II

Bogor 26 Juni 2006
Malam itu, seluruh penjuru Kota Bogor diguyur hujan disertai angin kencang, Aku melihat wajah ibu yang gelisah, ia sedang duduk di ruang tamu, di atas sofa berwarna biru, tempat favorite keluargaku berkumpul. Ibu terus saja menggoyangkan kakinya, dan terus mencoba menghubungi telepon ayah yang sejak tadi tidak dapat dihubungi.

Sesekali ibu berjalan mondar-mandir seraya melihat kearah jam yang kian lama kian larut, tetapi ayah belum juga pulang. Ibu sangat khawatir, karena tadi pagi ayah bilang akan pulang pada pukul 18.00. Namun, sekarang jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 dan ayah belum juga menamPakkan wajahnya.

Beberapa saat kemudian, hujan pun reda. Ibu terus melihat keluar jendela, tetapi ayah tak kunjung datang hingga akhirnya ibu tertidur di sofa. Aku sungguh kasihan melihat ibuku tertidur di sofa, tapi apa daya aku tidak kuat jika harus mengangkat badan ibuku yang mencapai 69 kg itu. Aku hanya bisa mengambilkan selimut tebal dari kamarnya, lalu menyelimutinya sambil memandang wajahnya yang cantik.

Ibuku adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan swasta ternama di kota Bogor. Ibu memiliki wajah yang cantik, dengan tubuh yang tinggi besar. Ia memiliki mata yang coklat dan kulit putih dan halus. Namun, telaPak tangannya sedikit kasar tidak seperti ratu-ratu di kerajaan, yang hanya bersantai dan menunggu para pelayan melayaninya. Ibuku adalah ratu dengan tangan ajaib, ia mampu mengerjakan segala pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri tanpa bantuan pramuwisma. Ia mampu membuat rumahku seperti istana yang memiliki 10 pramuwisma. Ibu tidak akan pernah membiarkan sedikitpun debu menempel di rumahku. Ia hebat, di sela-sela kesibukannya ia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhanku. Seperti menyiapkan sarapan setiap pagi sekaligus menyiapkan makanan untuk makan siangku. Lalu, ia selalu berusaha untuk pulang satu jam sebelum makan malam tiba, agar bisa membuatkan makan malam untuk aku dan ayah. Ia bukan wanita karir yang egois, ia selalu mengutamakan keluarganya. 

Ibu bagaikan malaikat dengan sepuluh tangan yang bekerja tiada henti. Terkadang, aku kasihan melihat wajahnya yang lelah dengan keringat yang mengalir di dahinya, sesekali ia menyeka keringatnya itu dengan tangan yang kotor karena habis memotong sayuran. Bila melihat ibu seperti itu, aku langsung lari ke arahnya dan merebut pisau dari tangannya, kemudian segera membantunya memasak. Meski saat itu umurku masih 7 tahun, aku sudah bisa memotong sayuran meskipun potongan sayurannya tidak beraturan.

                                                                                ***
Setelah kejadian itu, ayahku tak kunjung pulang.
Ibu sangat setia menunggu kepulangan ayah, hingga sepekan berlalu, tak ada juga kabar dari ayah. Ibu menelepon rekan ayah yang bekerja satu perusahan dengan ayah. Ayahku adalah seorang fotografer sekaligus jurnalis politik, ia adalah orang yang berani menantang maut demi menyediakan berita yang aktual bagi masyarakat. Setelah menghubungi teman ayah, hasilnya nihil mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan ayah.
Terakhir kali, ayah pamit kepada ibu untuk meliput kegiatan di kantor walikota Bogor. Ibu khawatir, dan segera menghubungi pihak kepolisian. Polisi mulai melakukan pencarian untuk mencari ayah yang diduga disandera. Namun, setelah seminggu pencarian, polisi tidak menemukan jejak dimana ayahku berada.
Ibu menangis sepanjang malam, dan tak henti memandangi foto ayah. Ibu berusaha kuat didepanku, ibu tidak ingin membuatku yang masih duduk dikelas 2 SD pada saat itu menjadi sedih dan mengetahui semuanya.
Setiap kali aku bertanya, “Bu, ayah kemana?”

Ibu hanya menjawab “Ayah sedang kerja nak, dia tadi sudah menelepon saat dirimu tidur,”
Setahun telah berlalu, pencarian ayah tak menemukan titik terang. Polisi berjanji akan mencari ayahku sampai menemukannya entah dalam keadaan hidup atau mati.
Seiring berjalannya waktu, tahun demi tahun pun berlalu, usiaku pun semakin bertambah, kini aku sudah mengerti kemana sebenarnya ayahku selama ini, ayahku hilang bak ditelan bumi. Suaranya tak lagi kudengar, Wajahnya tak lagi kulihat, kini tak ada lagi langkah kaki yang tiba-tiba saja datang ke kamarku untuk sekadar mencium keningku.
“Ayahku, sudah tiada lagi,”ucapku sambil meneteskan air mataku, ketika sadar, ayahku bukanlah bekerja, tetapi ia telah hilang dan tak ditemukan jejaknya.

                                                                               ***
Setiap satu bulan sekali, setelah kejadian itu, ibu tidak pernah absen untuk meluangkan waktu berkunjung ke kantor polisi dan menanyakan perkembangan ayah. Namun, hingga saat ini, hasilnya masih saja nihil. Polisi hampir saja menyerah untuk mencari keberadaan ayah. Namun, ibu memohon kepada kepala kepolisian untuk terus mencari ayah.
“Bu, sudahlah, jangan lagi ditangisi, entah ayahku dimana sekarang, jika memang dia masih hidup, ia pasti akan kembali, ini sudah tahun ke 11, ikhlaskanlah bu walau berat, insyaAllah ayah akan tenang disana,”ucapku lagi, untuk menguatkan ibuku.
Setelah itu, kutinggalkan ibu dan lari kekamar. Aku tak kuasa menahan tangis, satu demi satu air mata keluar dan membasahi pipiku. Aku hanya berpura-pura kuat di depan ibuku. Aku tidak ingin memperlihatkan kesedihanku. 

Sebab, aku berpikir bahwa “bagaimana mungkin manusia yang rapuh menguatkan manusia rapuh yang lainnya”.

Bersambung ....

No comments:

Post a Comment