Thursday, 9 June 2016

Mengais Rejeki di Atas Rel Mati (Penulisan)



Mengais Rejeki di Atas Rel Mati

“Meskipun aku hanya bekerja sebagai pendorong lori tetapi di dalam hati kecil, aku memiliki impian yang luar biasa. Aku ingin menjadi seorang perakit kereta api. Sebenarnya, aku tahu impianku itu hanya sebatas impian yang tidak akan pernah terwujud. Namun, aku tidak mengubur impian itu, aku tetap menyimpannya dalam hati sebagai penyemangatku dalam menjalani kehidupan.”Kalimat tersebut merupakan impian besar seorang anak yang telah putus sekolah dan kini menjadi pendorong ojek lori di kawasan Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara.
Motor menjadi ojek tentu adalah hal yang biasa, tetapi bagaimana dengan ojek yang berada di atas rel kereta? Nah itu baru luar biasa.Pertama kali mendengarnya, mungkin sedikit asing di telinga kalian, namun hal ini adalah hal nyata yang terjadi di kawasan kampung Bandan, Jakarta Utara. Ojek tersebut biasa di sebut dengan sebutan “ojek lori”. Ojek lori merupakan alat transportasi yang di operasikan di atas rel kereta api milik PT KAI yang tidak lagi berfungsi, masyarakat kampung Bandan memanfaatkan jalur tersebut sebagai jalur ojek lori sejak beberapa tahun silam. Lori yang dikenal oleh masyarakat, khususnya di pedesaan, lebih identik dengan sesuatu yang serba lamban. Jalan merayap karena selalu sarat beban muatan. Dalam literatur, istilah lori bermula dari bahasa Melayu yang dipinjam dari bahasa Inggris, lorry.
Lori merupakan kendaraan berat komersial untuk mengangkut barang dengan kuantitas yang besar, seperti hasil bumi, barang tambang, hingga produksi pabrik. Berbeda dengan fenomena yang terjadi di kawasan Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara. Kendaraan lori di kawasan tersebut digunakan sebagai ojek pengangkut manusia. Lori merupakan kendaraanrakitan yang terbuat dari kayu-kayu, membentuk seperti sasis kendaraan dengan roda yang terbuat dari gir di keempat sisinya dan membutuhkan tenaga manusia sebagai tenaga pendorongnya. Sebenarnya, ojek lori bukan hanya ada di daerah kampung Bandan, Jakarta Utara, tetapi di kota lain pun juga banyak yang memanfaatkan rel kereta yang sudah mati sebagai jalur lori.Kebanyakan orang yang bekerja sebagai pendorong ojek lori adalah warga sekitar rel kereta api yang sudah tidak digunakan lagi, mereka hidup dengan segala keterbatasan tempat tinggal. Rata-rata rumah warga di kampung ini, terbuat dari bilik bambu.
Masyarakat Kampung Bandan, biasanya  menggunakan jasa lori sebagai alat transportasi menuju ke pasar pagi atau tempat lain, ojek lori dianggap sebagai alternatif transportasi yang tarifnya terjangkau dibandingkan dengan angkutan lain. Tarif ojek lori hanya berkisarRp 2.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00, tentu dengan tarif tersebut masyarakat lebih memilih menggunakan ojek lori dibandingkan dengan menggunakn angkutan lain yang tarifnya berkisar Rp 5.000,00 sampai dengan Rp 10.000,00.Meski dengan tarif yang relatif murah, banyak pendorong ojek lori yang menggantungkan hidupnya hanya pada pekerjaan tersebut. Bapak Kasman contohnya, ia merantau ke Jakarta sejak tahun 1989, pria asal Purwokerto ini mencoba mengadu nasib dengan satu harapan yaitu mendapat kehidupan yg lebih baik. Berbagai profesi telah ia geluti, mulai dari pelayan toko, kuli angkut, sampai ke penjaga mushola dan 5 tahun belakangan ini, pak Kasman menekuni profesi sebagai Ojek lori, menjual jasa antar jemput kepada masyarakat yg tinggal disepanjang bantaran rel. Tentu saja, jika kita berpikir secara realistis, hal ini tidak masuk di akal, karena pendapatan mereka per hari pasti jauh dari kata cukup. Pendapatan mereka per hari mungkin hanya cukup untuk membeli satu liter beras dan lauk-pauk yang seadanya.
Kenyataan ini tentu saja menyentuh hati, jika kita mengaitkannya dengan keadaan negara saat ini, hal ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya lapangan pekerjaan di Ibukota, sehingga mengharuskan para pendorong ojek lori untuk tetap bertahan dengan pekerjaannyayang sekarang ini, dengan pendapatan yang tidak seberapa. Kemirisan yang terjadi di negeri yang kaya akan hasil bumi, kenyataan pahit yang selalu kita jumpai. Ternyata, tidak semua pendorong ojek lori memiliki lori sendiri, mereka yang tidak memiliki lori dapatmenyewa lori dengan harga Rp 60.000,00 per hari. Sangat tidak sesuai dengan upah yang mereka dapatkan mendorong lori. Mereka hanya akan mendapatkan keuntungan dengan uang paling banyak Rp 30.000,00 sedangkan jika penumpang sepi, mereka hanya mendapatkan Rp 15.000,00 saja. Satu gerobak lori dapat menampung delapan penumpang dengan tarif Rp 2.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00 per orang. “Kami tidak dapat memberikan tarif yang mahal, tarif kami harus lebih murah dari tarif ojek karena jika tidak, maka warga akan lebih suka naik ojek daripada lori kami.” Ujar salah satu pendorong ojek lori.“Meskipun penghasilanku sebesar itu tapi aku senang karena aku bisa membantu ibu paling tidak untuk membeli makan. Aku selalu menyisihkan sedikit dari penghasilanku untuk aku masukkan dalam celengan plastikku. Aku ingin menabung agar nanti dapat membantu ibu menyekolahkan kedua adikku.” Sahutnya lagi.
Kalimat tersebut sungguh menyentuh hati saya, yang sejak tadi mengamati betapa gigihnya perjuangan para pendorong ojek lori. Tampak  wajah yang terengah-engah berusaha sekuat tenaga mendorong lori di atas rel mati, urat-urat pun terlihat menonjol dari balik lengan mereka. Keringat mulai mengucur dari  dahinya, panas matahari yang kian lama kian menyengat kulit tidak mereka hiraukan.  Bukan hanya orang-orang dewasa yang bekerja sebagai pendorong lori, bahkan anak-anak usia sekolah terpaksa menarik lori. Mereka yang sebagian dari keluarga tidak mampu di sekitar bantaran rel, terpaksa harus mencari nafkah dengan cara ini karena  tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan.Terlebih lagi, pekerjaan para pencari rejeki di atas rel mati ini, menjadi dua kali lebih berat saat mereka harus berpapasan dengan lori yang lainnya, mereka harus mengangkat lori dan membiarkan lori lainnya melintas di rel yang sama.

No comments:

Post a Comment