Mengais
Rejeki di Atas Rel Mati
“Meskipun
aku hanya bekerja sebagai pendorong lori tetapi di dalam hati kecil, aku
memiliki impian yang luar biasa. Aku ingin menjadi seorang perakit kereta api.
Sebenarnya, aku tahu impianku itu hanya sebatas impian yang tidak akan pernah
terwujud. Namun, aku tidak mengubur impian itu, aku tetap menyimpannya dalam
hati sebagai penyemangatku dalam menjalani kehidupan.”Kalimat tersebut
merupakan impian besar seorang anak yang telah putus sekolah dan kini menjadi
pendorong ojek lori di kawasan Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara.
Motor menjadi
ojek tentu adalah hal yang biasa, tetapi bagaimana dengan ojek yang berada di
atas rel kereta? Nah itu baru luar biasa.Pertama kali mendengarnya, mungkin
sedikit asing di telinga kalian, namun hal ini adalah hal nyata yang terjadi di
kawasan kampung Bandan, Jakarta Utara. Ojek tersebut biasa di sebut dengan
sebutan “ojek lori”. Ojek lori merupakan alat transportasi yang di operasikan di
atas rel kereta api milik PT KAI yang tidak lagi berfungsi, masyarakat kampung
Bandan memanfaatkan jalur tersebut sebagai jalur ojek lori sejak beberapa tahun
silam. Lori yang dikenal oleh masyarakat, khususnya di pedesaan, lebih identik dengan
sesuatu yang serba lamban. Jalan merayap karena selalu sarat beban muatan.
Dalam literatur, istilah lori bermula dari bahasa Melayu yang dipinjam dari
bahasa Inggris, lorry.
Lori merupakan
kendaraan berat komersial untuk mengangkut barang dengan kuantitas yang besar,
seperti hasil bumi, barang tambang, hingga produksi pabrik. Berbeda dengan fenomena
yang terjadi di kawasan Kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara. Kendaraan lori
di kawasan tersebut digunakan sebagai ojek pengangkut manusia. Lori merupakan
kendaraanrakitan yang terbuat dari kayu-kayu, membentuk seperti sasis kendaraan
dengan roda yang terbuat dari gir di keempat sisinya dan membutuhkan tenaga
manusia sebagai tenaga pendorongnya. Sebenarnya, ojek lori bukan hanya ada di
daerah kampung Bandan, Jakarta Utara, tetapi di kota lain pun juga banyak yang
memanfaatkan rel kereta yang sudah mati sebagai jalur lori.Kebanyakan orang
yang bekerja sebagai pendorong ojek lori adalah warga sekitar rel kereta api
yang sudah tidak digunakan lagi, mereka hidup dengan segala keterbatasan tempat
tinggal. Rata-rata rumah warga di kampung ini, terbuat dari bilik bambu.
Masyarakat Kampung Bandan, biasanya
menggunakan jasa lori sebagai alat transportasi menuju ke pasar pagi
atau tempat lain, ojek lori dianggap sebagai alternatif transportasi yang
tarifnya terjangkau dibandingkan dengan angkutan lain. Tarif ojek lori hanya
berkisarRp 2.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00, tentu dengan tarif tersebut
masyarakat lebih memilih menggunakan ojek lori dibandingkan dengan menggunakn angkutan
lain yang tarifnya berkisar Rp 5.000,00 sampai dengan Rp 10.000,00.Meski dengan
tarif yang relatif murah, banyak pendorong ojek lori yang menggantungkan
hidupnya hanya pada pekerjaan tersebut. Bapak Kasman
contohnya, ia merantau ke Jakarta sejak tahun 1989, pria asal Purwokerto ini
mencoba mengadu nasib dengan satu harapan yaitu mendapat kehidupan yg lebih
baik. Berbagai profesi telah ia geluti, mulai dari pelayan toko, kuli angkut,
sampai ke penjaga mushola dan 5 tahun belakangan ini, pak Kasman menekuni
profesi sebagai Ojek lori, menjual jasa antar jemput kepada masyarakat yg
tinggal disepanjang bantaran rel. Tentu saja, jika kita berpikir secara realistis, hal ini
tidak masuk di akal, karena pendapatan mereka per hari pasti jauh dari kata
cukup. Pendapatan mereka per hari mungkin hanya cukup untuk membeli satu liter
beras dan lauk-pauk yang seadanya.
Kenyataan ini tentu saja menyentuh
hati, jika kita mengaitkannya dengan keadaan negara saat ini, hal ini merupakan
salah satu dampak dari kurangnya lapangan pekerjaan di Ibukota, sehingga mengharuskan
para pendorong ojek lori untuk tetap bertahan dengan pekerjaannyayang sekarang
ini, dengan pendapatan yang tidak seberapa. Kemirisan yang terjadi
di negeri yang kaya akan hasil bumi, kenyataan pahit yang selalu kita jumpai.
Ternyata, tidak semua pendorong ojek lori memiliki lori sendiri, mereka yang tidak memiliki lori
dapatmenyewa
lori dengan harga Rp 60.000,00 per hari. Sangat tidak sesuai dengan upah yang
mereka dapatkan mendorong lori. Mereka hanya akan mendapatkan keuntungan dengan
uang paling banyak Rp 30.000,00 sedangkan jika penumpang sepi, mereka hanya
mendapatkan Rp 15.000,00 saja. Satu gerobak lori dapat menampung delapan
penumpang dengan tarif Rp 2.000,00 sampai dengan Rp 5.000,00 per orang. “Kami
tidak dapat memberikan tarif yang mahal, tarif kami harus lebih murah dari
tarif ojek karena jika tidak, maka warga akan lebih suka naik ojek daripada
lori kami.” Ujar salah satu pendorong ojek lori.“Meskipun penghasilanku sebesar
itu tapi aku senang karena aku bisa membantu ibu paling tidak untuk membeli
makan. Aku selalu menyisihkan sedikit dari penghasilanku untuk aku masukkan
dalam celengan plastikku. Aku ingin menabung agar nanti dapat membantu ibu
menyekolahkan kedua adikku.” Sahutnya lagi.
Kalimat
tersebut sungguh menyentuh hati saya, yang sejak tadi mengamati betapa gigihnya
perjuangan para pendorong ojek lori. Tampak
wajah yang terengah-engah berusaha sekuat tenaga mendorong lori di atas
rel mati, urat-urat pun terlihat menonjol dari balik lengan mereka. Keringat
mulai mengucur dari dahinya, panas matahari yang kian lama kian menyengat
kulit tidak mereka hiraukan. Bukan hanya
orang-orang dewasa yang bekerja sebagai pendorong lori, bahkan anak-anak usia
sekolah terpaksa menarik lori. Mereka yang sebagian dari keluarga tidak mampu
di sekitar bantaran rel, terpaksa harus mencari nafkah dengan cara ini
karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan.Terlebih lagi, pekerjaan
para pencari rejeki di atas rel mati ini, menjadi dua kali lebih berat saat
mereka harus berpapasan dengan lori yang lainnya, mereka harus mengangkat lori
dan membiarkan lori lainnya melintas di rel yang sama.